Sumber: New Trader U | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Meskipun berpenghasilan layak dan memiliki pekerjaan yang stabil, banyak keluarga kelas menengah terjebak dalam siklus stres finansial, utang, dan stagnasi karier.
Meskipun faktor ekonomi eksternal berperan, penelitian psikologis mengungkapkan bahwa pola pikir tertentu menciptakan hambatan tak terlihat bagi kesuksesan finansial kelas menengah.
Perangkap mental ini, yang berakar kuat dalam psikologi manusia, seringkali merugikan orang-orang yang seharusnya membangun kekayaan substansial dari waktu ke waktu.
Memahami pola-pola psikologis berikut merupakan langkah pertama untuk terbebas dari perilaku finansial yang merugikan diri sendiri.
Mengutip New Trader U, lima perangkap pola pikir berikut, yang diidentifikasi melalui penelitian psikologis yang ekstensif, menjelaskan mengapa individu kelas menengah yang cerdas dan pekerja keras seringkali kesulitan mencapai keamanan finansial yang mereka inginkan:
1. Perangkap Perbandingan Media Sosial
Teori Perbandingan Sosial dari psikolog sosial Leon Festinger menjelaskan kecenderungan alami seseorang untuk membandingkan harga diri mereka dengan orang lain.
Mekanisme psikologis ini telah menjadi sangat kuat di era digital saat ini, menciptakan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada keuangan kelas menengah.
Baca Juga: 5 Pelajaran Kaya dari Robert Kiyosaki untuk Kelas Menengah: Setop Utang Buruk
Media sosial memperkuat kecenderungan ini dengan terus-menerus mengekspos gaya hidup yang dikurasi dan kesuksesan yang tampak.
Ketika menelusuri unggahan yang disusun dengan cermat yang menampilkan liburan mewah, renovasi rumah, dan pilihan sekolah swasta, keluarga mengembangkan pandangan yang menyimpang tentang kehidupan kelas menengah yang "normal".
Paparan berkelanjutan ini menciptakan siklus berbahaya di mana keputusan keuangan didasarkan pada ekspektasi sosial yang dirasakan, alih-alih kapasitas keuangan yang sebenarnya.
Pola pikir kelas menengah sering kali menganut budaya yang berorientasi pada pencapaian yang menciptakan kehidupan yang "istimewa tetapi tertekan".
Untuk melepaskan diri dari jebakan ini, kita perlu mengalihkan fokus dari tekanan sosial ke nilai-nilai pribadi. Kesejahteraan finansial sejati berasal dari menyelaraskan pengeluaran dengan prioritas individu, alih-alih berusaha menyamai atau melampaui pilihan gaya hidup teman-teman yang lain.
2. Paradoks Kepercayaan Diri
Efek Dunning-Kruger mengungkapkan bagaimana orang sering kali melebih-lebihkan pengetahuan mereka di bidang yang kurang keahliannya.
Dalam keuangan pribadi, titik buta kognitif ini menciptakan konsekuensi yang sangat mahal bagi keluarga kelas menengah.
Banyak individu kurang memahami konsep dasar seperti bunga majemuk, diversifikasi, dan manajemen risiko, tetapi tidak menyadari adanya kesenjangan pengetahuan ini.
Baca Juga: 5 Sebab Mengapa Orang Miskin Tetap Miskin dan Kelas Menengah Susah Menjadi Kaya
Kepercayaan diri yang salah ini menyebabkan kesalahan yang mahal, termasuk akumulasi utang berbunga tinggi, pilihan investasi yang buruk, dan perencanaan pensiun yang tidak memadai.
Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa investor yang terlalu percaya diri menghasilkan imbal hasil yang lebih rendah daripada mereka yang mengakui keterbatasan mereka.
3. Keuangan Berbasis Rasa Takut
Peraih Nobel Daniel Kahneman dan Amos Tversky mengidentifikasi keengganan kerugian sebagai bias fundamental manusia di mana rasa takut kehilangan uang seringkali melumpuhkan pengambilan keputusan keuangan.
Kecenderungan psikologis ini menciptakan hambatan signifikan bagi pembangunan kekayaan kelas menengah.
Keengganan kerugian membuat calon investor menjauh dari pasar atau menyebabkan mereka menjual selama masa resesi, tepat ketika mereka seharusnya membeli.
Ketakutan akan kerugian jangka pendek mencegah partisipasi dalam strategi pembangunan kekayaan jangka panjang. Pendekatan konservatif mungkin terasa aman, tetapi jarang menghasilkan imbal hasil yang cukup untuk keamanan pensiun atau kemandirian finansial.
Pendekatan berbasis rasa takut ini meluas melampaui investasi hingga ke kesiapsiagaan darurat. Banyak keluarga kelas menengah kekurangan dana darurat yang memadai karena mereka tidak tahan membayangkan "kehilangan" uang ke rekening tabungan dengan imbal hasil rendah.
4. Perangkap Gratifikasi Instan
Penelitian ekonom Richard Thaler tentang bias saat ini mengungkapkan bagaimana orang secara konsisten melebih-lebihkan imbalan langsung dibandingkan dengan manfaat di masa depan.
Kecenderungan psikologis ini menciptakan badai yang sempurna bagi kurangnya tabungan pensiun dan ketidakamanan finansial.
Baca Juga: Pemerintah Perlu Waspadai Fenomena Down Trading Masyarakat Kelas Menengah, Kenapa?
Bias saat ini menjelaskan mengapa orang memahami pentingnya tabungan pensiun, namun secara konsisten menunda memulai atau berkontribusi secara memadai.
Beban psikologis dari keinginan konsumsi langsung mengalahkan manfaat abstrak di masa depan, bahkan ketika orang secara intelektual memahami peracikan dan pertumbuhan jangka panjang.
Kunci untuk mengatasi bias masa kini adalah menciptakan sistem yang secara otomatis membuat keputusan keuangan yang baik, sementara pilihan yang buruk justru merepotkan.
Pendaftaran otomatis dalam program pensiun secara drastis meningkatkan tingkat partisipasi karena menghilangkan pilihan aktif antara konsumsi saat ini dan tabungan masa depan.
5. Penjara Pola Pikir Tetap
Penelitian psikolog Carol Dweck tentang pola pikir berkembang mengungkapkan perbedaan mendasar antara mereka yang memandang kemampuan sebagai sesuatu yang tetap dibandingkan mereka yang memandangnya sebagai sesuatu yang dapat dikembangkan.
Dalam konteks keuangan, perbedaan pola pikir ini menciptakan hasil yang sangat berbeda.
Perbedaan paling signifikan antara kesuksesan membangun kekayaan dan stagnasi kelas menengah seringkali terletak pada lokus kendali.
Tonton: Kelas Menengah RI Makin Terjepit di Tengah Ketimpangan Konsumsi
Informasi saja, lokus kendali itu konsep psikologi yang menjelaskan di mana seseorang meletakkan “kendali” atau sumber penyebab atas peristiwa yang menimpanya.
Mereka yang mencapai kesuksesan finansial biasanya mempertahankan lokus kendali internal, meyakini bahwa tindakan merekalah yang terutama menentukan hasil. Perspektif ini secara alami mengarah pada identifikasi langkah-langkah yang dapat ditindaklanjuti untuk perbaikan, terlepas dari kondisi eksternal.
Selanjutnya: 15 Link Twibbon Hari Pramuka 14 Agustus 2025, Cek Juga Sejarah Pramuka
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News