Sumber: BBC | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Rapat empat hari yang dihadiri ratusan delegasi Partai Komunis China (CPC) dan dipimpin langsung oleh Sekretaris Jenderal Xi Jinping berakhir pada Kamis (2/10/2025), dengan dirilisnya sebuah komunike resmi.
Melansir BBC, dokumen yang luas itu menyoroti poin-poin utama dalam rencana pembangunan ekonomi China untuk lima tahun ke depan.
Berikut tiga hal utama yang bisa dipetik dari pertemuan tersebut:
1. Pembersihan Korupsi Lebih Besar dari yang Diduga
Pengamat China menyoroti angka kehadiran resmi dalam rapat pleno ini.
Biasanya, untuk tidak hadir di acara sepenting ini, seseorang harus punya alasan yang sangat kuat — misalnya sakit parah.
Namun dari 205 anggota Komite Sentral, hanya 168 yang hadir.
Satu diketahui telah meninggal dan 10 sudah resmi disingkirkan (dipurga).
Artinya, ada 26 pejabat yang hilang tanpa kejelasan.
Baca Juga: AS-China Panas di Kuala Lumpur: Ancaman Tarif 100% dan Perang Rare Earth
Apakah ini berarti lebih banyak pejabat tinggi Partai yang ikut “dibersihkan” dalam gelombang pemberantasan korupsi terbaru daripada yang dilaporkan?
Selain itu, puluhan “anggota alternatif” — posisi cadangan non-voting — juga tidak hadir. Nama-nama mereka tidak diungkap, tapi jumlahnya cukup besar, memicu spekulasi bahwa mereka juga menjadi korban dari operasi disiplin internal Partai yang terkenal keras.
Khusus di kalangan militer, angkanya mengejutkan:
Dari 33 jenderal anggota Komite Sentral, 22 tidak hadir. Delapan di antaranya memang sudah dipecat secara resmi — tapi ke mana 14 lainnya? Siapa mereka, dan apa yang terjadi?
Dalam sistem politik China yang sangat tertutup, pertanyaan seperti ini sering kali tidak pernah dijawab.
Yang jelas, Partai tampaknya memang "membersihkan geladak” menjelang pertemuan ini, agar pemecatan pejabat tinggi seperti He Weidong (orang nomor tiga di Tentara Pembebasan Rakyat) bisa diumumkan secara resmi.
Analis politik masih memperdebatkan apakah ini tanda kekuatan atau justru kelemahan Xi Jinping.
Apakah ini cermin dari pemimpin paranoid yang takut muncul kekuatan tandingan, atau tanda tangan kuat yang berani menindak siapa pun tanpa pandang bulu?
Apa pun jawabannya, tampaknya kampanye ini belum akan berhenti.
“Partai akan mempertahankan keteguhan tanpa akhir dalam perang melawan korupsi,” kata Jiang Jinquan, Direktur Kantor Riset Kebijakan Pusat, dalam konferensi pers Jumat lalu.
Baca Juga: Sanksi Trump ke Rusia dan China Bisa Picu Krisis Dolar, Emas Jadi Pilihan Aman
2. Dorongan Swasembada Teknologi
Ketika Donald Trump dan Xi Jinping bertemu di Korea Selatan pekan depan, mereka diperkirakan akan membahas ketegangan dagang yang masih tinggi antara kedua negara.
Di jantung masalah ini, China ingin akses lebih besar ke chip komputer dan perangkat lunak canggih dari AS, sementara AS ingin akses lebih besar ke logam tanah jarang (rare earth) dan magnet dari China.
Masalahnya: kedua pihak enggan memberi karena khawatir akan memperkuat posisi saingannya.
Kesimpulan Beijing pun jelas: kalau tak bisa impor, buat sendiri.
Salah satu target utama dalam komunike tersebut adalah pencapaian “kemajuan signifikan dalam kemandirian sains dan teknologi”.
Agar tak salah tafsir, kantor berita resmi Xinhua menegaskan lagi pentingnya “kemandirian”, dengan menulis:
“Negara harus mencapai tingkat kemandirian dan kekuatan yang lebih tinggi di bidang sains dan teknologi, serta mendorong pengembangan kekuatan produktif berkualitas baru.”
Frasa “new quality productive forces” adalah slogan khas Xi Jinping — mencerminkan ambisi China untuk mendorong kemajuan teknologi dalam negeri tingkat tinggi, termasuk aplikasi militer, melalui kolaborasi antara sektor swasta, BUMN, dan militer (PLA).
Intinya, China ingin lebih banyak teknologi, lebih canggih, dan tanpa ketergantungan pada Amerika.
Tonton: Partai Komunis China Rumuskan Strategi Hadapi AS: Bukan Lagi Ekspor!
3. Membangkitkan Konsumsi Domestik
Salah satu efek terbesar dari perang dagang dengan AS adalah turunnya ekspor.
Ini menjadi pukulan berat bagi ekonomi China yang selama puluhan tahun sangat bergantung pada pasar luar negeri.
Bahkan sebelum perang tarif, para akademisi sudah memperingatkan bahwa China perlu menyeimbangkan ekonominya, dengan menumbuhkan konsumsi dalam negeri.
Masalahnya, proporsi konsumsi rumah tangga terhadap PDB China masih sangat rendah. Kenaikan tarif dari pemerintahan Trump membuat barang China makin sulit dijual di AS.
Meski eksportir China cukup tangguh dan berhasil menemukan pasar baru, tantangan struktural tetap ada.
Kini, dengan ketidakpastian geopolitik meningkat, banyak yang melihat saatnya China menggandalkan pasar domestik.
Menurut hasil resmi pleno, negara akan “membangun pasar domestik yang kuat dan mempercepat pola pembangunan baru”.
Selanjutnya: FUTR Siapkan Ekspansi Usai Bertransformasi ke Bisnis Energi Hijau
Menarik Dibaca: Punya Asam Urat tapi Masih Bisa Makan Enak lo, Coba Makanan Berikut Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













