kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.299.000   3.000   0,13%
  • USD/IDR 16.707   -11,00   -0,07%
  • IDX 8.395   57,53   0,69%
  • KOMPAS100 1.168   8,20   0,71%
  • LQ45 854   5,85   0,69%
  • ISSI 291   2,33   0,81%
  • IDX30 444   1,43   0,32%
  • IDXHIDIV20 513   2,30   0,45%
  • IDX80 132   1,04   0,80%
  • IDXV30 138   1,56   1,14%
  • IDXQ30 141   0,50   0,35%
GLOBAL /

Ekspor China Melemah ke Level Terburuk Sejak Februari, Ini Sebabnya


Minggu, 09 November 2025 / 06:15 WIB
Ekspor China Melemah ke Level Terburuk Sejak Februari, Ini Sebabnya
ILUSTRASI. Ekspor China kembali terpukul pada Oktober 2025, mencatat penurunan terburuk sejak Februari tahun ini. REUTERS/Thomas White

Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - Ekspor China kembali terpukul pada Oktober 2025, mencatat penurunan terburuk sejak Februari tahun ini. Penurunan itu terjadi setelah selama beberapa bulan sebelumnya, eksportir China mempercepat pengiriman barang ke Amerika Serikat untuk menghindari tarif tambahan dari Presiden Donald Trump. 

Angka ini sekaligus menegaskan betapa besarnya ketergantungan sektor manufaktur China terhadap konsumen AS, meski Beijing berusaha memperluas pasar ke wilayah lain.

Reuters melaporkan, selama setahun terakhir, ekonomi terbesar kedua di dunia itu memang gencar mencari pasar alternatif ke Asia Tenggara dan Uni Eropa, menyusul kemenangan kembali Trump dalam pemilihan presiden AS. Pemerintah China khawatir babak baru perang dagang akan kembali muncul, seperti yang pernah mengguncang perekonomian global pada masa jabatan pertama Trump.

Namun, sejauh ini tidak ada pasar lain yang mampu menandingi nilai ekspor China ke Amerika Serikat yang mencapai lebih dari US$ 400 miliar per tahun. Para ekonom memperkirakan, kehilangan pasar AS itu telah memangkas pertumbuhan ekspor China sekitar dua poin persentase, setara dengan 0,3% dari PDB.

Data bea cukai China yang dirilis Jumat (7/11) memperlihatkan ekspor turun 1,1% secara tahunan pada Oktober, berbalik dari kenaikan 8,3% pada September. Angka ini juga jauh di bawah perkiraan analis Reuters yang memperkirakan kenaikan 3%. 

“Sepertinya lonjakan pengiriman ke AS untuk mengantisipasi kenaikan tarif sudah berhenti pada Oktober,” ujar Zhang Zhiwei, Kepala Ekonom Baoyin Capital Management. “Dengan momentum ekspor yang mulai melemah, China tampaknya perlu lebih bergantung pada permintaan domestik.”

Baca Juga: Harga Emas Dunia Stabil di Dekat US$ 4.000, Analis Sebut Sudah Capai Puncak?

Pengiriman barang China ke AS anjlok 25,17% dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, ekspor ke Uni Eropa dan negara-negara Asia Tenggara—dua wilayah yang kini sedang coba didekati Beijing—masing-masing hanya tumbuh 0,9% dan 11%. 

Banyak analis menilai, industri manufaktur China telah mengirimkan sebanyak mungkin barang ke luar negeri sebelum gelombang tarif baru benar-benar berlaku.

Alicia Garcia-Herrero, Kepala Ekonom Asia Pasifik di Natixis, menegaskan bahwa indikator PMI sudah memberi sinyal sebelumnya: ekspor China tidak mungkin terus tumbuh tanpa batas.

“Bukan hanya karena AS, tapi juga karena ekonomi global sedang melambat. Bahkan ekspor melalui Vietnam ke AS pun akan melambat setelah gelombang percepatan pengiriman ini berakhir. Kondisi kuartal IV akan berat bagi China, dan dampaknya kemungkinan berlanjut ke paruh pertama 2026,” ujarnya.

Setelah data itu keluar, nilai yuan melemah terhadap dolar AS, mencatat penurunan mingguan pertama dalam sebulan terakhir.

Baca Juga: Bukan Politik, Ini Alasan Sebenarnya Trump Menang di Tahun 2024 Menurut Para Ekonom

Gencatan Tarif Sementara

Pasar sempat sedikit lega setelah Trump dan Presiden Xi Jinping sepakat untuk memangkas sebagian tarif dan menunda pemberlakuan kebijakan tambahan selama satu tahun. Kesepakatan itu memunculkan harapan akan meredanya ketegangan perdagangan kedua negara, terutama setelah hubungan mereka sempat kembali panas pada awal Oktober.

Namun, kenyataannya barang-barang asal China yang masuk ke AS masih dikenakan tarif rata-rata sekitar 45%, jauh di atas ambang 35% yang dianggap para ekonom sebagai titik impas keuntungan produsen China. 

Menurut Woei Chen Ho, ekonom UOB Singapore, gencatan senjata ini hanya akan menstabilkan situasi jangka pendek. 

“Ke depan, kedua negara justru akan berusaha saling mengurangi ketergantungan. Porsi perdagangan AS dalam ekspor China akan terus turun,” katanya.

Meski begitu, surplus dagang China dengan AS masih naik menjadi US$ 24,76 miliar pada Oktober dari US$ 22,82 miliar bulan sebelumnya. Dalam upayanya memperluas pasar, Beijing juga membuka peluang kerja sama dagang atau investasi baru dengan Uni Eropa—ekonomi terbesar ketiga dunia—setelah mencatat surplus US$ 21,9 miliar bulan lalu terhadap blok tersebut.

Tonton: Bos Nvidia Yakin China Akan Kalahkan AS dalam Perlombaan AI

Permintaan Domestik Masih Lemah

Kelemahan ekonomi China bukan hanya datang dari sisi ekspor. Data impor menunjukkan pertumbuhan paling lambat dalam lima bulan terakhir—hanya naik 1% dibanding tahun lalu, jauh lebih rendah dari kenaikan 7,4% pada September dan di bawah perkiraan 3,2%. 

Ini mencerminkan masih lemahnya konsumsi domestik yang selama ini diharapkan menjadi penopang utama pertumbuhan.

Pemerintah berjanji akan meningkatkan kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB secara signifikan dalam lima tahun ke depan, sesuai hasil pertemuan Komite Sentral Partai Komunis yang menetapkan arah ekonomi 2026–2030.

Di sisi impor, China membeli lebih banyak kedelai, minyak mentah, dan bijih besi dibanding tahun lalu, terutama karena adanya permintaan besar dari industri pengolahan dan harga energi yang masih kompetitif. Namun, impor tembaga—logam penting bagi sektor konstruksi—justru turun karena harga tinggi dan masih lesunya pasar properti.

Para analis dari Nomura menilai, kombinasi pelemahan ekspor, penurunan penjualan ritel, dan rendahnya permintaan investasi menambah tekanan terhadap ekonomi. 

“Beijing kemungkinan akan kembali mengalihkan fokus kebijakan untuk menjaga stabilitas jangka pendek. Perluasan kebijakan fiskal akan menjadi agenda utama pemerintah ke depan,” tulis mereka dalam laporan resmi.

Kesimpulan:

Ekspor China anjlok 1,1% pada Oktober 2025, penurunan terburuk sejak Februari, akibat turunnya permintaan dari Amerika Serikat yang masih memberlakukan tarif tinggi atas produk China. Meski ada jeda perang dagang selama setahun, tekanan terhadap manufaktur tetap besar, sementara permintaan domestik pun belum cukup kuat untuk menutupi pelemahan ekspor. Kondisi ini membuat ekonomi China semakin bergantung pada stimulus fiskal dan kebijakan jangka pendek demi menjaga stabilitas menjelang 2026.

Selanjutnya: Tabel Harga Emas Antam 8 November 2025 - Semua Ukuran Naik 0,13% Sehari

Menarik Dibaca: Apa Itu Ayurveda ya? Ini Sejarah dan Manfaat Pengobatan Tradisional India

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

×