Sumber: Business Insider | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - China masih memegang kendali nyaris absolut atas pasokan global rare earth (logam tanah jarang) — mineral penting untuk teknologi tinggi, kendaraan listrik, dan sistem pertahanan.
Menurut analisis terbaru dari Goldman Sachs, butuh waktu setidaknya satu dekade bagi negara-negara Barat untuk menantang dominasi Beijing atas rantai pasok mineral strategis ini.
Dominasi China Hampir Total
“Dominasi China benar-benar masif,” ujar Daan Struyven, Co-Head of Global Commodities Research di Goldman Sachs, dalam sebuah podcast pada Selasa (28/10).
Ia menyebutkan bahwa 92% pemurnian rare earth global dan 98% produksi magnet berbasis rare earth masih dilakukan di China.
“Kondisi ini memberi Beijing pengaruh luar biasa dalam konflik perdagangan, dan membuat pasar sangat sensitif terhadap kebijakan China,” jelas Struyven.
Data ini menunjukkan bahwa meskipun banyak negara berupaya mengembangkan industri rare earth mereka, ketergantungan global terhadap China tetap sangat tinggi.
Baca Juga: Malaysia Tegaskan Larangan Ekspor Rare Earth Mentah, Tak Mau Dikeruk Murah!
Strategis Tapi Pasar Masih Kecil
Rare earth elements (REE) adalah kelompok 17 logam langka yang sangat penting bagi industri modern — mulai dari semikonduktor, kendaraan listrik, turbin angin, hingga rudal pertahanan.
Namun secara ekonomi, pasar ini relatif kecil, yakni sekitar 33 kali lebih kecil dari tembaga berdasarkan nilai produksi global.
Hal ini menjadikan rare earth bukan sekadar komoditas industri, tetapi senjata geopolitik.
Negara mana pun yang menguasainya memiliki pengaruh besar terhadap rantai pasok teknologi dunia.
Baca Juga: Demam Emas di Australia, Ribuan Orang Rela Antre Berjam-jam untuk Beli Logam Mulia!
Tantangan Barat Bangun Rantai Pasok Sendiri
Negara-negara Barat telah menjanjikan investasi miliaran dolar untuk membangun industri rare earth domestik. Namun, Struyven memperingatkan bahwa proses ini akan berjalan lambat dan mahal.
“Butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun rantai pasok independen di Barat,” katanya.
“Sekitar 10 tahun untuk membangun tambang, dan 5 tahun untuk fasilitas pemurnian.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa meski ada dorongan kuat dari Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang untuk mengurangi ketergantungan terhadap China, kemandirian penuh masih jauh dari kenyataan.
Rare Earth Jadi Isu Panas dalam Pertemuan Trump–Xi
Presiden Donald Trump dijadwalkan bertemu dengan Presiden Xi Jinping pada Kamis mendatang di Korea Selatan.
Isu rare earth diperkirakan akan menjadi salah satu poin diskusi utama dalam pertemuan tersebut.
Sebelumnya, Beijing telah memperketat kontrol ekspor mineral kritis dengan kebijakan baru yang mulai berlaku pada 8 November, hanya beberapa hari sebelum gencatan senjata dagang 90 hari dengan Washington berakhir.
Langkah ini dipandang sebagai strategi tekanan diplomatik bagi AS menjelang pembicaraan lanjutan.
“Kerangka akhir dari setiap kesepakatan perdagangan AS–China masih harus ditandatangani oleh kedua presiden,” kata Struyven.
“Dan saya rasa masalah ini tidak akan hilang dalam waktu dekat.”
Tonton: Di Malaysia, AS China Sepakat Redakan Perang Dagang
Kesimpulan
Analisis Goldman Sachs menegaskan bahwa rare earth adalah “emas putih geopolitik” China — alat strategis yang memberi Beijing pengaruh besar di kancah global.
Sementara negara-negara Barat berupaya mengejar ketertinggalan, dominasi China dalam pemurnian dan teknologi magnetik membuat posisi mereka sulit digoyang dalam waktu dekat.
Industri rare earth bukan sekadar soal tambang, melainkan soal kekuasaan dan kendali teknologi masa depan.
Sumber Data:
- Goldman Sachs Global Commodities Research Podcast, Oktober 2025
- Reuters
- Bloomberg
- U.S. Geological Survey (USGS)
Selanjutnya: Kekayaan Jensen Huang Bertambah Rp 280 Triliun, Saat Nvidia Pecahkan Rekor Dunia
Menarik Dibaca: IHSG Berpotensi Uji Level 8.200, Cek Rekomendasi Saham BNI Sekuritas (30/10)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













